Jakarta – Warga dari beberapa RW di Tegal Alur dan Cengkareng Barat bersatu dalam Aliansi Menceng Menolak, menolak keras pembangunan krematorium yang merupakan bagian dari proyek tambahan Rumah Abu Jabar Agung di RT 003/RW 006, Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat.
Pembangunan yang sudah mendapat izin melalui SK-PBG nomor 317306-2112023-005 pada 21 Desember 2023 ini dinilai dilakukan tanpa mematuhi kaidah etika, tanpa mediasi, dan tanpa persetujuan warga sekitar. Berdasarkan izin tersebut, pembangunan fondasi krematorium sudah dimulai di belakang Rumah Abu Jabar Agung.
Aliansi Menceng Menolak, yang terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan warga dari RW-006, RW-012, RW-014 Tegal Alur, serta RW-009 Cengkareng Barat, telah melayangkan surat protes kepada Lurah Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta sebagai penanggung jawab utama wilayah pembangunan proyek tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lokasi krematorium ini berdekatan dengan Masjid Baitul Amal di Cengkareng dan Masjid Al-Ikhlas di Tegal Alur, yang terletak di tengah permukiman padat. Jamaah dari kedua masjid tersebut merasa tidak nyaman dengan pembangunan ini dan turut menolak proyek tersebut.
Aliansi Menceng Menolak juga berencana mengirimkan surat resmi kepada Pj. Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Mereka menyoroti potensi dampak negatif dari pembangunan krematorium terhadap lingkungan, sosial, dan kearifan lokal.
“Pembangunan fasilitas ini tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan karena lokasinya di tengah permukiman padat penduduk, tetapi juga tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitar,” ujar Mikie Defrian, Ketua Aliansi Menceng.
Dalam surat yang akan dikirimkan kepada Pj. Gubernur DKI Jakarta, Aliansi Menceng Menolak menuntut pencabutan izin SK-PBG dan penghentian pembangunan krematorium. Mereka menegaskan bahwa pencabutan izin dan penghentian proyek adalah langkah terbaik untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan menjaga harmoni sosial di wilayah tersebut.
“Aneh sekali, persyaratannya saja belum dipenuhi, tetapi izin sudah diterbitkan. Salah satu persyaratannya adalah meminta izin kepada pemegang wilayah seperti RT dan RW. Padahal mereka belum mendapat izin dari pemegang wilayah,” tambah Mikie.
Warga berharap agar pemerintah segera menanggapi permintaan mereka dan meninjau kembali izin yang telah diterbitkan, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan masyarakat di sekitarnya.