Lensapolri.com – From Film To Learning.
Kekuasan merupakan suatu anuggrah utama dalam setiap penentuan arah suatu bangsa, menilik kisah fiksi Game Of Thrones yang mengajarkan kita tentang senyuman pada panggung kekuasaan bisa mengalahkan tajamnya pedang seorang kesatria, kisah fiksi tersebut mengajarkan kita bahwa politik bukan hanya soal siapa yang menang atau siapa yang gugur, tapi bagaimana kekuasaan dibungkus dalam drama, citra, dan estetika. Di balik mahkota emas dan istana batu, tersimpan sandiwara yang nyaris tak berbeda dengan realitas Nusantara: sebuah negeri sepanjang bentangan garis khatulistiwa yang menyediakan panggung kekuasaannya yang dipenuhi tokoh, simbol, aliansi rapuh, dan intrik yang ditenun sehalus batik.
politik tampil bukan sekadar sebagai perebutan kuasa, tetapi sebagai pertunjukan yang menuntut kecermatan membaca isyarat. Maka, ketika kita membahas politik Indonesia hari ini, adakah kita sedang menonton panggung yang berbeda, atau hanya menyaksikan versi lokal dari kisah yang sama?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam wajah politik kontemporer, kekuasaan tidak lagi semata-mata dipertontonkan melalui dominasi militer atau kekuatan koersif, melainkan melalui estetika simbolik yang halus namun efektif. Game of Thrones, karya epik yang menampilkan kompleksitas perebutan kekuasaan di Westeros, menyuguhkan gambaran besar bahwa politik adalah panggung teatrikal yang diisi oleh aktor-aktor dengan naskah tersembunyi.
Mengutip Gagasan Erving Goffman tentang “dramaturgi politik” menjadi relevan untuk membedah bagaimana kekuasaan diartikulasikan melalui peran, kostum, dan panggung sosial baik di dunia fiksi maupun di ranah nyata seperti Nusantara.
Politik Indonesia, dalam banyak hal, menampilkan pola serupa sepeti panggung-panggung parlemen, konferensi pers, hingga strategi pencitraan melalui media sosial merupakan bentuk kontemporer dari estetika kekuasaan yang dikonstruksi. Pertanyaannya, apakah di balik senyum diplomatis dan koalisi strategis, tersembunyi pula intrik, pengkhianatan, dan strategi yang tidak kalah tajam dari drama di King’s Landing?
Tahun politik sudah kita lewati dengan penuh warna seperti halnya perubutan tahtah The Iron Thrones pada Westeros, berbagai macam daya upaya disuguhkan untuk suatu kemenangan, dari koalisi ke koalisi dijajaki untuk mendapatkan power pemilih yang besar, citra politik dimainkan dan dikemas secara indah sampai menutupi fakta-fakta negatif yang terjadi pada latar belakang setiap pemimpin yang diusung masing-masing koalisi, disini kita belajar bagaimana suatu tahta didapat melalui rencana yang sudah terbentuk dari jauh hari, melalui strategi pemenangan yang kompleks serta arah citra yang diperhitungkan, tak sedikit biaya digelontorkan untuk ajang politik ini sejalan dengan peperangan yang terjadi di Westeros yang merenggut banyak nyawa dan emas hanya untuk hasrat kekuasaan yang harus disalurkan oleh pemimpinnya.
Salah satu ilustrasi paling subtil dari estetika politik di Westeros tampak dalam adegan ketika Ratu Margaery Tyrell mengirimkan gambar mawar kepada Lady Olenna, sebagai sinyal bahwa ia masih berpihak pada keluarganya di tengah tekanan Faith Militant. Dalam kacamata hermeneutika simbolik, tindakan tersebut adalah bentuk komunikasi non-verbal yang sarat makna, yang dimana mawar bukan sekadar bunga, melainkan representasi identitas, loyalitas, dan resistensi tersembunyi dalam kekuasaan.
Michel Foucault menyebut kekuasaan modern sebagai jaringan yang tersebar melalui diskursus dan simbol, bukan hanya melalui instrumen koersif. Maka, tindakan Margaery menjadi contoh konkret bagaimana kekuasaan dapat dikomunikasikan dan dinegosiasikan lewat simbol estetis.
Fenomena serupa juga terlihat dalam praktik politik Indonesia dari gestur tubuh dalam debat publik, warna-warna dalam kampanye, hingga simbol-simbol budaya yang dimobilisasi untuk membangun identitas politik. Dalam konteks ini, estetika politik bukanlah pelengkap dari kekuasaan, melainkan instrumen sentral yang menyamarkan konflik di balik keindahan visual dan narasi nasionalistik.
Simbol mawar dalam politik Westeros adalah pengingat bahwa kekuasaan tidak selalu tampil dengan keganasan senjata atau pidato berapi-api, terkadang, ia hadir dalam bentuk paling lembut namun paling menusuk, sebuah gambar, sebuah lambang, sebuah isyarat.
Dalam lanskap politik Indonesia yang kian estetik dan penuh pencitraan, pesan-pesan semacam ini juga kerap berseliweran terselip dalam simbol-simbol budaya, dikodekan dalam narasi keagamaan, bahkan disisipkan dalam estetika media sosial. Mawar Margaery Tyrell mengajarkan kita bahwa dalam politik, yang tidak dikatakan seringkali lebih berarti daripada yang diucapkan. Ketika publik hanya memandang politik dari permukaan, maka kekuasaan akan terus memainkan perannya di balik layar, membungkus dominasi dalam selimut keindahan. Di titik inilah, estetika politik tidak lagi netral; ia menjadi medan tafsir, tempat kebenaran dan kebohongan saling bersaing memperebutkan makna.
seperti diingatkan oleh Walter Benjamin, bahwa “There is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism,” kita harus waspada bahwa di balik estetika kekuasaan, tersembunyi pula potensi penindasan yang rapi, anggun, dan nyaris tak terdeteksi.
Kenali, pahami, dalami, baru tentukan pilihan, jangan menjadi rakyat hanya diam terbelenggu dalam keindahan citra para bintang politik.
Denpasar, 7 April 2025.
Ngurah Galang Jayadhifa, S.H., M.H.